Selasa, 09 Oktober 2012

Dampak Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Kontradiksi Pengambilan Keputusan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah



Pada beberapa tahun belakangan ini telah dilaksanakan suatu wacana dari pemerintah pusat yaitu otonomi daerah atau yang dikenal pula dengan nama desentralisasi. Dengan adanya otonomi daerah ini maka pemerintah pusat memberikan kelonggaran atau kesempatan yang lebih luas bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan. Berbagai kebijakan dapat diambil oleh pemerintah daerah dengan tujuan untuk mengambil langkah bagi daerahnya yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan yang terjadi. Hal ini dianggap merupakan yang terbaik karena didasarkan kepada asumsi bahwa setiap daerah memiliki lingkungan yang berbeda sehingga membutuhkan penanganan yang berbeda dan pemerintah di daerah itulah yang mengetahui apa yang terbaik bagi daerahnya.
            Permasalahannya adalah beberapa daerah belum siap menerima otonomi daerah ini sehingga terkadang kebijakan yang dibuat justru tidak menghasilkan output yang diharapkan. Bahkan beberapa kebijakan terkadang menyudutkan beberapa kalangan tertentu, diantaranya adalah kalangan pebisnis tertentu di suatu industri. Dalam paper ini akan dibahas mengenai salah satu contoh kebijakan pemerintah daerah yang berpengaruh terhadap lingkungan bisnis, akan diambil contoh mengenai industri telekomunikasi.
            Pada dasarnya, industri telekomunikasi di Indonesia berkembang berdasarkan Undang-Undang no.3 tahun 1989 yang diperkuat oleh Undang-Undang no.36 tahun 1999 mengenai telekomunikasi. Dengan landasan demikian maka dibentuk peraturan-peraturan mengenai industri telekomunikasi baik untuk telepon tetap dan juga telepon bergerak atau telepon seluler. Peraturan-peraturan tersebut diantaranya adalah mengenai penyelenggara jasa telekomunikasi yaitu telepon tetap yang dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara yaitu Telkom untuk sambungan langsung jarak dekat kemudian berbagi dengan Indosat untuk sambungan langsung jarak jauh dan juga sambungan langsung internasional. Dengan demikian maka memang telah dituliskan bahwa sistem monopoli dan duopoli dilegalkan oleh pemerintah untuk sambungan ini. Sedikit ironis mengingat pada pasal 10 dalam Undang-Undang no.36 terdapat larangan monopoli, akan tetapi mungkin pasal ini hanya berlaku bagi para pelaku yang bergerak di bidang operator seluler yang memang dilepas ke berbagai kalangan baik itu dari anak perusahaan BUMN seperti Telkomsel atau pihak swasta seperti Bakrie Telecom atau Excelcomindo Pratama yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh Telecom Malaysia sehingga diharapkan persaingan terbentuk sempurna dan sesuai dengan perilaku konsumen di pasar.
            Sesuai dengan UU tersebut pula, pemerintah memiliki beberapa hak untuk melakukan intervensi termasuk diantaranya adalah perijinan mengenai infrastruktur, regulasi mengenai tarif, penomoran dan spektrum sinyal yang dipakai. Namun kenyataannya pada level nasional pemerintah cukup sering melakukan kebijakan yang merugikan kalangan ini seperti ketika regulasi tarif yang kurang jelas sehingga muncul perang tarif antar operator atau kebijakan satu menara pemancar yang didasarkan pada Pemenkominfo no.2 tahun 2008 yang akan dibahas lebih lanjut selanjutnya. Pada akhirnya hal ini akan memancing munculnya indikasi praktek monopoli dan juga kontradiksi dengan Peraturan Daerah karena menurut pemerintah pengelolaan pemancar ini akan diberikan kepada pihak ketiga sehingga operator dapat dikatakan sebagai penyewa dari pemancar ini. Berikut akan dibahas mengenai masalah dan kontradiksi Peraturan Pusat dan Daerah tersebut.

Ketika tekanan dari pemerintah pusat yang ditambah dari tekanan lingkungan eksternal akibat krisis moneter sudah cukup mengkhawatirkan dirasakan oleh industri, ternyata kebijakan yang diakibatkan desentralisasi juga cukup membuat pelaku industri telekomunikasi kembali dirugikan.
            Kronologisnya dimulai ketika masalah menara dianggap pemerintah daerah mengurangi keindahan kota karena penataannya yang memang kurang diatur sehingga tersebar di berbagai tempat. Beberapa wilayah seperti Jogjakarta dan Palu dianggap kurang baik dalam mengatur pembangunan menara tersebut. Dengan keadaan yang demikian maka banyak pemerintah daerah yang kemudian mengeluarkan peraturan mengenai penataan yang jauh lebih baik.
Ketika dilihat dari tujuan dari kebijakan ini maka dapat dikatakan bahwa tujuan yang hendak dicapai adalah keindahan dan tata kota yang baik, namun kenyataannya beberapa kebijakan mengenai menara pemancar ini cukup mengganggu para pelaku di industri telekomunikasi. Dimulai dari kabupaten Badung, Bali. Pemerintah daerah kabupaten ini mengeluarkan suatu kebijakan yang menurut pemerintah daerah setempat didasarkan kepada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi no.2 tahun 2008 mengenai penggunaan menara telekomunikasi bersama. Inti dari peraturan ini adalah adanya usaha pemerintah untuk menerapkan sistem satu menara untuk beberapa perusahaan operator seluler. Satu menara ini dibangun dan kemudian dikelola oleh pihak ketiga yang bukan merupakan bagian dari kumpulan para operator seluler. Sehingga pada dasarnya para operator seluler mengadakan kerjasama dengan pihak tertentu untuk pengelolaan menara pemancar yang dipakai bersama-sama dengan difasilitasi pemerintah.
Pada dasarnya peraturan ini dikeluarkan dengan beberapa tujuan. Bagi pemerintah bermanfaat dalam: Hadirnya perusahaan-perusahaan nasional pengelola menara, menekan biaya investasi, sehingga terjadi realokasi biaya ke bagian lain sektor telekomunikasi yang lebih bermanfaat, menekan biaya operator telekomunikasi sehingga tarif dari operator telekomunikasi menjadi lebih kompetitif.
Sedangkan, manfaat kebijakan ini bagi operator seluler adalah : Mereka dapat lebih fokus pada bisnis inti sebagai operator, menekan biaya serendah mungkin melalui model outsourcing, memperoleh kepastian untuk bisa mendapatkan tempat bagi sarana telekomunikasi yang akan digunakannya, dan tidak terbebani oleh kondisi tidak perlu yang selama ini muncul dalam proses pengelolaan menara.
Sistem ini pada dasarnya memiliki tujuan yang baik akan tetapi karena peraturan yang belum terlalu jelas mengatur maka dikhawatirkan terjadi berbagai masalah diantaranya adalah pengelolaan menara oleh pihak ketiga yang memiliki kecenderungan monopolistik.
Seiring dengan perkembangan otonomi daerah, maka pemerintah daerah kemudian menafsirkan kebijakan tersebut dengan berbagai persepsi. Pemerintah daerah kemudian beramai-ramai mengeluarkan Peraturan Daerah untuk mengatur hal ini. Hal yang paling ekstrim terjadi di Badung. Pemda Badung mengeluarkan suatu Perda, dan kemudian mengadakan kontrak dengan salah satu perusahaan lokal yaitu PT Bali Towerindo Sentra tanggal 7 Mei 2007. Kontrak itu tentang Penyediaan Infrastruktur Menara Telekomunikasi Terpadu di Kabupaten Badung. Dalam perjanjian disebutkan, Pemda Badung memberikan izin kepada PT Bali Towerindo untuk pengadaan dan pengelolaan BTS di Kabupaten Badung, setelah perusahaan itu menang lelang. Atas perjanjian itu, Pemda Badung tidak akan menerbitkan izin menara ke perusahaan lain di Badung. Pemda Badung juga tidak akan memperpanjang operasional baik sementara atau tetap atas menara telekomunikasi yang sudah ada (existing tower) di Badung. Bagi pemilik existing tower, Pemda Badung meminta agar membongkar sendiri menaranya. Jika tidak, Pemda Badung akan membongkar paksa tapi atas biaya para pemilik menara.
Permasalahan mulai berkembang ketika Pemda dengan perusahaan tersebut mengadakan aksi yang sangat merugikan. Dengan berdalih tidak mengikuti peraturan Pemda untuk membangun menara bersama PT Bali Towerindo Sentra, maka Pemda kemudian merubuhkan tiga menara pemancar yang dikelola oleh Indonesian Tower yang sebenarnya merupakan pemancar bersama yang digunakan oleh operator seluler diantaranya Telkomsel, Excelcomindo Pratama (XL), Mobile 8 Telecom dan Natrindo Telepon Seluler sebagai pemegang merek Axis di Indonesia. Perkembangan kasusnya kemudian adalah pihak Indonesian Tower dan operator seluler yang merasa dirugikan kemudian membawa kasus ini ke meja pengadilan tepatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar, Bali. Perkembangannya adalah pihak PTUN pada bulan Mei 2009 memenangkan pihak Indonesian Tower dan operator seluler serta mewajibkan kepada pihak Pemda Badung untuk membayar ganti tugi kepada pihak yang dimenangkan, pihak Pemda Badung sendiri diberikan waktu paling lama 14 hari untuk mengajukan banding.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar