Pada beberapa
tahun belakangan ini telah dilaksanakan suatu wacana dari pemerintah pusat yaitu
otonomi daerah atau yang dikenal pula dengan nama desentralisasi. Dengan adanya
otonomi daerah ini maka pemerintah pusat memberikan kelonggaran atau kesempatan
yang lebih luas bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan. Berbagai
kebijakan dapat diambil oleh pemerintah daerah dengan tujuan untuk mengambil langkah
bagi daerahnya yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan yang terjadi. Hal
ini dianggap merupakan yang terbaik karena didasarkan kepada asumsi bahwa
setiap daerah memiliki lingkungan yang berbeda sehingga membutuhkan penanganan
yang berbeda dan pemerintah di daerah itulah yang mengetahui apa yang terbaik
bagi daerahnya.
Permasalahannya
adalah beberapa daerah belum siap menerima otonomi daerah ini sehingga
terkadang kebijakan yang dibuat justru tidak menghasilkan output yang diharapkan. Bahkan beberapa kebijakan terkadang
menyudutkan beberapa kalangan tertentu, diantaranya adalah kalangan pebisnis
tertentu di suatu industri. Dalam paper ini akan dibahas mengenai salah satu
contoh kebijakan pemerintah daerah yang berpengaruh terhadap lingkungan bisnis,
akan diambil contoh mengenai industri telekomunikasi.
Pada
dasarnya, industri telekomunikasi di Indonesia berkembang berdasarkan
Undang-Undang no.3 tahun 1989 yang diperkuat oleh Undang-Undang no.36 tahun
1999 mengenai telekomunikasi. Dengan landasan demikian maka dibentuk
peraturan-peraturan mengenai industri telekomunikasi baik untuk telepon tetap
dan juga telepon bergerak atau telepon seluler. Peraturan-peraturan tersebut
diantaranya adalah mengenai penyelenggara jasa telekomunikasi yaitu telepon
tetap yang dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara yaitu Telkom untuk sambungan
langsung jarak dekat kemudian berbagi dengan Indosat untuk sambungan langsung
jarak jauh dan juga sambungan langsung internasional. Dengan demikian maka
memang telah dituliskan bahwa sistem monopoli dan duopoli dilegalkan oleh
pemerintah untuk sambungan ini. Sedikit ironis mengingat pada pasal 10 dalam
Undang-Undang no.36 terdapat larangan monopoli, akan tetapi mungkin pasal ini
hanya berlaku bagi para pelaku yang bergerak di bidang operator seluler yang
memang dilepas ke berbagai kalangan baik itu dari anak perusahaan BUMN seperti
Telkomsel atau pihak swasta seperti Bakrie Telecom atau Excelcomindo Pratama
yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh Telecom Malaysia sehingga diharapkan
persaingan terbentuk sempurna dan sesuai dengan perilaku konsumen di pasar.
Sesuai
dengan UU tersebut pula, pemerintah memiliki beberapa hak untuk melakukan
intervensi termasuk diantaranya adalah perijinan mengenai infrastruktur,
regulasi mengenai tarif, penomoran dan spektrum sinyal yang dipakai. Namun
kenyataannya pada level nasional pemerintah cukup sering melakukan kebijakan
yang merugikan kalangan ini seperti ketika regulasi tarif yang kurang jelas
sehingga muncul perang tarif antar operator atau kebijakan satu menara pemancar
yang didasarkan pada Pemenkominfo no.2 tahun 2008 yang akan dibahas lebih
lanjut selanjutnya. Pada akhirnya hal ini akan memancing munculnya indikasi praktek
monopoli dan juga kontradiksi dengan Peraturan Daerah karena menurut pemerintah
pengelolaan pemancar ini akan diberikan kepada pihak ketiga sehingga operator
dapat dikatakan sebagai penyewa dari pemancar ini. Berikut akan dibahas
mengenai masalah dan kontradiksi Peraturan Pusat dan Daerah tersebut.
Ketika tekanan
dari pemerintah pusat yang ditambah dari tekanan lingkungan eksternal akibat
krisis moneter sudah cukup mengkhawatirkan dirasakan oleh industri, ternyata
kebijakan yang diakibatkan desentralisasi juga cukup membuat pelaku industri
telekomunikasi kembali dirugikan.
Kronologisnya
dimulai ketika masalah menara dianggap pemerintah daerah mengurangi keindahan
kota karena penataannya yang memang kurang diatur sehingga tersebar di berbagai
tempat. Beberapa wilayah seperti Jogjakarta dan Palu dianggap kurang baik dalam
mengatur pembangunan menara tersebut. Dengan keadaan yang demikian maka banyak
pemerintah daerah yang kemudian mengeluarkan peraturan mengenai penataan yang
jauh lebih baik.
Ketika dilihat
dari tujuan dari kebijakan ini maka dapat dikatakan bahwa tujuan yang hendak
dicapai adalah keindahan dan tata kota yang baik, namun kenyataannya beberapa
kebijakan mengenai menara pemancar ini cukup mengganggu para pelaku di industri
telekomunikasi. Dimulai dari kabupaten Badung, Bali. Pemerintah daerah
kabupaten ini mengeluarkan suatu kebijakan yang menurut pemerintah daerah
setempat didasarkan kepada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi no.2
tahun 2008 mengenai penggunaan menara telekomunikasi bersama. Inti dari
peraturan ini adalah adanya usaha pemerintah untuk menerapkan sistem satu
menara untuk beberapa perusahaan operator seluler. Satu menara ini dibangun dan
kemudian dikelola oleh pihak ketiga yang bukan merupakan bagian dari kumpulan
para operator seluler. Sehingga pada dasarnya
para operator seluler mengadakan kerjasama dengan pihak tertentu untuk
pengelolaan menara pemancar yang dipakai bersama-sama dengan difasilitasi
pemerintah.
Pada dasarnya
peraturan ini dikeluarkan dengan beberapa tujuan. Bagi pemerintah bermanfaat
dalam: Hadirnya
perusahaan-perusahaan nasional pengelola menara, menekan biaya investasi,
sehingga terjadi realokasi biaya ke bagian lain sektor telekomunikasi yang
lebih bermanfaat, menekan biaya operator telekomunikasi sehingga tarif dari
operator telekomunikasi menjadi lebih kompetitif.
Sedangkan,
manfaat kebijakan ini bagi operator seluler adalah : Mereka dapat lebih fokus
pada bisnis inti sebagai operator, menekan biaya serendah mungkin melalui model
outsourcing, memperoleh kepastian
untuk bisa mendapatkan tempat bagi sarana telekomunikasi yang akan
digunakannya, dan tidak terbebani oleh kondisi tidak perlu yang selama ini
muncul dalam proses pengelolaan menara.
Sistem
ini pada dasarnya memiliki tujuan yang baik akan tetapi karena peraturan yang
belum terlalu jelas mengatur maka dikhawatirkan terjadi berbagai masalah
diantaranya adalah pengelolaan menara oleh pihak ketiga yang memiliki
kecenderungan monopolistik.
Seiring
dengan perkembangan otonomi daerah, maka pemerintah daerah kemudian menafsirkan
kebijakan tersebut dengan berbagai persepsi. Pemerintah daerah kemudian
beramai-ramai mengeluarkan Peraturan Daerah untuk mengatur hal ini. Hal yang
paling ekstrim terjadi di Badung. Pemda Badung mengeluarkan suatu Perda, dan
kemudian mengadakan kontrak dengan salah satu perusahaan lokal yaitu PT Bali Towerindo Sentra tanggal 7 Mei 2007. Kontrak itu
tentang Penyediaan Infrastruktur Menara Telekomunikasi Terpadu di Kabupaten
Badung. Dalam perjanjian disebutkan, Pemda Badung memberikan izin kepada PT
Bali Towerindo untuk pengadaan dan pengelolaan BTS di
Kabupaten Badung, setelah perusahaan itu menang lelang. Atas perjanjian itu,
Pemda Badung tidak akan menerbitkan izin menara ke perusahaan lain di Badung.
Pemda Badung juga tidak akan memperpanjang operasional baik sementara atau
tetap atas menara telekomunikasi yang sudah ada (existing tower) di
Badung. Bagi pemilik existing tower, Pemda Badung meminta agar
membongkar sendiri menaranya. Jika tidak, Pemda Badung akan membongkar paksa
tapi atas biaya para pemilik menara.
Permasalahan
mulai berkembang ketika Pemda dengan perusahaan tersebut mengadakan aksi yang
sangat merugikan. Dengan berdalih tidak mengikuti peraturan Pemda untuk
membangun menara bersama PT Bali Towerindo Sentra, maka Pemda kemudian
merubuhkan tiga menara pemancar yang dikelola oleh Indonesian Tower yang
sebenarnya merupakan pemancar bersama yang digunakan oleh operator seluler
diantaranya Telkomsel, Excelcomindo Pratama (XL), Mobile 8 Telecom dan Natrindo
Telepon Seluler sebagai pemegang merek Axis di Indonesia. Perkembangan kasusnya
kemudian adalah pihak Indonesian Tower dan operator seluler yang merasa
dirugikan kemudian membawa kasus ini ke meja pengadilan tepatnya ke Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar, Bali. Perkembangannya adalah pihak PTUN pada
bulan Mei 2009 memenangkan pihak Indonesian Tower dan operator seluler serta
mewajibkan kepada pihak Pemda Badung untuk membayar ganti tugi kepada pihak
yang dimenangkan, pihak Pemda Badung sendiri diberikan waktu paling lama 14
hari untuk mengajukan banding.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar