Selasa, 09 Oktober 2012

Brand equity



      Menurut Kottler (2000), merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, rancangan ataupun kombinasinya dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing. Aaker (Simamora, 2001) mengemukakan setidaknya terdapat sedikitnya tiga nilai yang diberikan oleh merek, yaitu nilai fungsional, nilai emosional, dan nilai ekspresi diri. Nilai fungsional diperoleh dari atribut-atribut produk. Nilai fungsional bersifat relatif. Sedangkan nilai emosional menyangkut persaan positif saat konsumen membelli, menggunakan, menikmati atau mengkonsumsi merek tertentu.
Definisi lain, merek adalah nama atau simbol yang digunakan untuk mengidentifikasi sumber dari suatu produk. Ketika mengembangkan produk baru, merek adalah sebuah keputusan penting. Merek dapat menambah nilai yang signifikan bila dikenal dengan baik dan memiliki asosiasi positif di benak konsumen. Konsep ini disebut sebagai ekuitas merek.
 Ekuitas merek merupakan aset tak berwujud yang bergantung pada asosiasi yang dibuat oleh konsumen. Aaker (1991) mendefinisikan sebuah asosiasi merek adalah segala sesuatu yang terhubung dalam memori untuk sebuah merek. Citra merek adalah seperangkat asosiasi terorganisir. Brand positioning adalah seperti asosiasi atau gambar, tapi termasuk referensi, yang biasanya kompetisi, dan tidak mencerminkan persepsi konsumen terhadap merek. Posisi merek tidak mencerminkan bagaimana sebuah perusahaan sedang mencoba dipandang. Sebuah merek yang kuat memiliki daya tarik secara kompetitif dan posisi yang berbeda yang didukung oleh asosiasi yang kuat (Aaker 1991).  Kemudian aaker mengidentifikasikan empat dimensi dari ekuitas merek dalam lima kategori, yaitu:
1.   Loyalitas merek ( Brand Loyalty)
2.   Kesadaran merek ( Brand Awareness)
3.   Kesan kualitas (Perceived Quality)
4.   Asosiasi merek (Brand Association)

Assael membedakan empat jenis perilaku pembelian konsumen berdasarkan tingkat keterlibatan pembeli dan tingkat perbedaan merek (Henry Assael, 1987). Sehingga dapat dikatakan terdapat dua kategori pengambilan keputusan: pengambilan terbatas pada situasi dengan keterlibatan rendah dan pengambilan keputusan yang diperluas pada situasi dengan keterlibatan tinggi (Herbert Krugman, 1983)
Tabel 2
Empat Jenis Perilaku Pembelian Konsumen

Keterlibatan tinggi
Keterlibatan rendah
Perbedaan besar antar merek
Perilaku pembelian yang rumit
Perilaku pembelian yang mencari variasi
Perbedaan kecil antar merek
Perilaku pembelian yang mengurangi ketidaknyamanan
Perilaku pembelian yang rutin/biasa

Customer-based brand equity adalah pengaruh differensial yang dimiliki oleh suatu ekuits merek akibat kesesuaiannya dengan nilai yang dimiliki pelanggan sehingga merek tersebut dapat memberikan superior customer value. Satu merek memiliki customer-based brand equity yang positif apabila diidentifikasikan sebagai merek yang memiliki nilai lebih dibandingkan pesaingnya. Akibatnya adalah pelanggan lebih mudah menerima new brand extension serta tidak sensitif terhadap kenaikan harga (Rangkuti, 2004).
Untuk mengelola agar merek bisa sukses dalam pasar, para manajer harus memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan. Persepsi Pelanggan harus dipelajari karena persepsi adalah dasar untuk kegiatan lain. Peningkatan pemahaman tentang persepsi pelanggan juga penting karena telah terbukti bahwa para manajer melihat image dari retail mereka berbeda dari pesaing mereka (Birtwistle et al., 1999). Dengan mengetahui sikap konsumen, seorang pemasar harus dapat (1) Memahami mengapa penjualan sekarang turun atau naik, dan (2) meningkatkan bauran pemasaran untuk meningkatkan sikap konsumen (3) lebih memahami bagaimana penggunaan merek dapat mempengaruhi konsumen dalam pengambilan keputusan untuk melakukan pembelian. Untuk alasan ini, pemasar terus memantau sikap konsumen. Bahkan, sikap konsumen mengenai merek sering secara langsung mempengaruhi apakah konsumen akan membeli atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar